Perseteruan Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka
Pada tahun 1962, terjadi peristiwa sastra yang menghebohkan, karena sastrawan besar yaitu Buya Hamka dituduh oleh sastrawan-sastrawan komunis melakukan plagiasi terhadap buku Roman beliau yang sangat laris dan diminati banyak orang yaitu buku yang berjudul ’’tenggelamnya kapal Van Der Wijck”.
Terjadinya peristiwa kehebohan sastra pada tahun itu
dimulai dilakukan oleh sebuah harian Bintang Timur yang dipimpin oleh Pramoedya Ananta Toer dan Rukiah
kertapati, kedua orang ini adalah seniman ataupun sastrawan yang tergabung
dalam LEKRA ( lembaga kebudayaan rakyat), di mana lekra ini berafiliasi dengan Partai
Komunis Indonesia.
Melalui bidang sastranya itu meloloskan sebuah tulisan
yang memunculkan pada bulan-bulan berikutnya sebuah peristiwa sastra yang
sangat menghebohkan, tulisan tersebut yang diizinkan melalui media yang
dipimpin oleh Pramoedya ananta Toer berjudul ”Aku mendakwah Hamka”,
yang ditulis oleh Abdullah said .
Pada saat itu dikenal dengan nama Abdullah SP
dengan judulnya tadi “Aku Mendakwah Hamka
Plagiat” tulisan ini terbit pada tanggal 5 Oktober 1962
melalui rubrik lentera di Surat kabar Bintang Timur, Abdullah memfitnah karya
tenggelamnya kapal Van Der Wijk yang ditulis oleh Buya Hamka itu adalah plagiat.
Plagiat bermakna
sebuah copy paste dari karya orang lain kemudian diganti penulisnya dengan nama
penulis yang melakukan plagiat itu, dan Buya Hamka dituduh melakukan hal yang
demikian.
Sementara pada sisi lain Roman Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck ini sudah terbit sejak dari tahun 1938 secara bersambung di majalah
yang dipimpin langsung oleh Buya Hamka Pedoman Masyarakat yang terbit di kota
Medan, artinya sejak dari tahun 38 itu sampai pada tahun 62 ada rentang waktu
24 tahun sejak dari dikenalnya atau diminatinya tulisan bersambung Buya Hamka
yang kemudian dibukukan tenggelamnya kapal Van Der Wijk tersebut.
Ada rentang
waktu yang sangat lama tetapi kenapa baru dimunculkan ke permukaan bahwa
tulisan tersebut adalah plagiat ini yang memancing kehebohan di dunia sastra
pada saat itu, yang melibatkan banyak seniman-seniman, yang juga banyak
melibatkan sastrawan sastrawan ikut membahas.
Tetapi dari keseluruhan orang yang
terlibat dalam kehebohan peristiwa sastra tersebut, hanya dari kelompok letra komunis ini yang
mati-matian menuduh Buya Hamka melakukan plagiat, sebab Buya Hamka pun
sesungguhnya sudah menyerahkan sekiranya memang apa yang ditulis oleh beliau
itu merupakan bagian beliau .
Menyerahkan kepada satu panitia independen untuk melakukan
penelitian, kemudian bandingkan dengan
buku aslinya, lalu dicocokkan dengan apa yang beliau tulis tersebut, dimana
letak plagiatnya, Buya Hamka sudah sampai pada tahap yang demikian, tetapi
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh media, yang berafiliasi dengan partai
komunis ini memang hanya untuk menjatuhkan martabat Buya Hamka.
Sengaja untuk merusak nama baik
beliau, sebab beberapa sahabat yang juga merupakan karib dekatnya Hamka dan juga kawan berdebat nya yaitu Ali Audah,
sahabat dia dalam beberapa hal, dan juga banyak tidak berkesesuaian pendapat
dengan Buya Hamka namun dia sangat objektif melihat bagaimana tuduhan itu di
tunjukkan kepada Buya Hamka dan bagaimana pula dia berusaha untuk membaca ulang
kembali novel tenggelamnya kapal Van Der Wijk
Tentang polemik yang muncul, diungkapkan oleh Ali audah
mengatakan “terpaksa saya membaca kembali buku
tenggelamnya kapal Van Der Wijck dan buku “Al-manfaluthi”.
Ali tidak keluar rumah dalam
beberapa hari, ia menghabiskan untuk menerjemahkan buku yang menjadi dugaan
plagiat oleh sastrawan yg berpaham kiri yaitu buku “Al- Majdulin”, dan juga membandingkan
dengan tenggelamnya kapal Van Der Wijck.
Ali audah menjelaskan pembelaan ini dalam buku
kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka yang merangkum banyak tulisan dari berbagai
macam kalangan, tentang pandangan mereka terhadap sosok Buya Hamka, Salah
satunya adalah tulisan dari Ali audah, yang dia membahas tentang kehebohan
sastra di tahun 1962.
Dalam tulisannya menjelaskan bahwa Hamka memang banyak
terpengaruh oleh al-manfaluti dan Hamka sendiri pun menerima sebagai suatu hal
yang wajar, jadi Buya Hamka pun menyadari ketika ada orang yang punya akses
untuk membaca buku itu kemudian melihat apa yang beliau tulis tersebut memang
ada keterpengaruhan dan Buya Hamka pun tidak menolak.
Tetapi yang kemudian menimbulkan
kehebohan itu adalah tuduhan plagiat ini memang tujuan mencemarkan Buya Hamka
di dunia sastra, sampai Lekra sendiri membuat opini “ini ulama islam, tidak
jujur, dan tuduhan lainnya mereka lontarkan kepada Hamka.
Karena tindakan melakukan plagiat
tersebut berarti tidak mempunyai inisiatif kreasi apapun kecuali hanya sekedar
mengganti nama penulis asli dengan namanya sendiri, tetapi pada sisi lain ada
pembelaan yang muncul.
Salah satunya dari Ali audah itu sendiri, kenapa rentang
waktu yang lama kemudian tanpa penyelidikan mendalam terlebih dahulu pihak kiri
tiba-tiba menuduh buya hamka, sebenarnya jelas tuduhan ini sebagai peristiwa
sastra yang kuat muatannya dengan politik hanya sebagai alat saja.
Novel tenggelamnya kapal Van Der
Wijk ini dijadikan alasan toko-tokoh yang berseberangan dengan kelompok kiri atau
yang berlawanan dengan pihak partai komunis Indonesia, mereka mecoba dan
mencari alasan pada tenggelamnya kapal
Van Der Wijck ini dijadikan sebagai bahan serangan, sebagai bahan kritikan
terhadap diri Buya Hamka dan merusak nama baik beliau.
Karena pada saat itu, sastrawan yang
memang menjadi muslim yang taat dikategorikan berada di sebelah kanan, dengan
konsep Realisme Sosialis. Sedangkan yang dipegang oleh pihak kiri antaranya Humanisme
Universal.
Terjadi pertarungan hebat antara mereka, sehingga
kemudian menjadikan kehebohan buku Buya Hamka di tahun 62 yang berlanjut
berbulan-bulan sesudahnya, muncul pula pertarungan antara pihak manifesto
kebudayaan dengan kelompok Lekra dan kawan-kawannya.
Yang mana masa panas para sastrawan
ini dijadikan oleh sastrawan yang terlibat langsung dalam pertarungan antara
mereka, yang memegang prinsip humanisme universal dengan kelompok realisme
sosialis ini yaitu budayawan DS Mulyanto dan Taufik Ismail.
Buku yang berjudul Prahara Budaya kilas-balik
ofensif Lekra/PKI dan kawan-kawan, ini sebuah peristiwa sastra yang sudah
dimulai sejak dari Hamka dan berlanjut melibatkan sastrawan sastrawan lain
berhadapan dengan kelompok-kelompok seniman-seniman PKI.
Buku ini bukti sejarah tentang
polemik antara kelompok sastrawan kanan dengan kelompok seniman sastrawan kiri
sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa kita pada masa 1960-an sampai
tahun 1965.
Kemudian kita juga bisa melihat efek dari apa yang
menimpa Buya Hamka ini juga merembet ke lingkungan keluarga beliau, hal ini
dirasakan langsung oleh anaknya Hamka yaitu Irfan Hamka dalam buku “Ayah”.
Beliau menceritakan tentang betapa polemik yang
menimpa Buya Hamka pada saat itu yang dimulai oleh kelompok sastrawan komunis, ini
juga ikut dirasakan oleh keluarga besar buya Hamka terutama Irfan Hamka yang pada saat itu sedang
dalam masa pendidikan di sekolah menengah atas SMA negeri 9 Jakarta.
Irfan Hamka menceritakan “guru
sastra Indonesiaku seorang guru PGRI begitu pula dengan guru sipitku, keduanya
dengan gaya mengejek selalu menanya kesehatan ayah dan tidak lupa berkirim
salam, kedua guru ini dengan nada sinis, kesannya mereka bertanya tentang
kondisi Buya Hamka dan kesehatan beliau tetapi model pertanyaannya itu dengan nada
yang terkesan mengejek, karena polemik tersebut juga menjadi perbincangan di
banyak kalangan sampai pula di kalangan siswa-siswi yang ada di sekolah”, dan
itu dirasakan oleh Irfan Hamka anak dari Buya Hamka.
“kupingku terasa panas, jelas Irfan
Hamka. Ketika kedua guruku itu bertanya kepadaku begitu pula halnya dengan
saudara-saudaraku yang lain, apalagi membaca koran yang sengaja dikirim ke
rumah secara gratis.
Koran itu adalah koran Harian
Bintang Timur dan Harian Rakyat, koran ini sangat keras permusuhannya terhadap Buya
Hamka, segala cacian dan makian, serta opini yang begitu banyak dituduhkan
kepada buya hamka.
Koran ini dipimpin langsung oleh
pramoedya ananta toer.
Setelah berlalunya peristiwa itu, seluruh
tokoh-tokoh partai komunis dan juga sastrawan-sastrawan komunis ikut dilibas
oleh gelombang baru, sehingga kemudian akhirnya terjadi peristiwa yang berbalik
arah kepada para seniman sastrawan komunis ini.
Akhirnya berganti menjadi penghuni jeruji jeruji besi
termasuklah di sini diantaranya Pramoedya ananta Toer dalam banyak kesaksian
orang menyebut dia ini adalah seorang komunis berkepala batu dia, sangat keras
kepala sampai dia di tempatkan di tahanan-tahanan yang di sana merupakan kelas
atas atau tahanan komunis yang memang mereka itu adalah ideologi-ideologi nya
partai komunis.
Setelah bebas pada tahun 80-an, kemudian tiba-tiba
anak Pramoedya ananta Toer datang ke rumah Buya Hamka, Irfan hamka menceritakan tentang peristiwa ini
sesuatu yang sangat bertolak belakang setelah pada tahun 60-an pramoedya ananta
Toer sangat berlawanan dengan Buya Hamka.
Sampai pada keadaan peristiwa
berbalik arah, sementara Buya Hamka dari tahun 64 sampai tahun '66 juga
ikut-ikutan tetapi setelah peristiwa 65 giliran kelompok orang-orang komunis
yang menghuni jeruji besi dan kelompok politisi muslim akhirnya bebas dan juga
beberapa tokoh-tokoh nasional lainnya juga ikut bebaskan.
Maka sesuatu yang menakjubkan
terjadi, ketika pada suatu hari ayah kedatangan sepasang tamu si perempuan
orang pribumi sedangkan yang laki-lakinya seorang keturunan Cina, kepada ayah
si perempuan kemudian memperkenalkan diri namanya Astuti sedangkan si laki-laki
bernama Daniel Setiawan.
Setelah itu, jelas Irfan ayah agak terkejut ketika
Astuti mengatakan bahwa ia adalah anak sulung dari Pramoedya ananta Toer, sesuatu
yang di luar dugaan, anak lawan polemiknya pada tahun 62 itu tiba-tiba datang
ke rumah Buya Hamka .
Astuti tersebut menemani Daniel
untuk menemui ayah dalam rangka ingin masuk Islam, karena dia (calon suaminya) seorang
non muslim dari keturunan Cina, jadi Astuti ini menceritakan kepada Buya Hamka
bahwa ayahnya yaitu pramoedya tidak setuju bila anak perempuannya yang muslimah
menikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan agama.
Pram ingin supaya anaknya itu tidak
ingin dia nikahkan kecuali dengan orang yang juga seiman dan satu budaya,
inilah keunikan dari peristiwa ini, selanjutnya adalah Setiawan kemudian
dipandu oleh Buya Hamka untuk membaca dua kalimat syahadat.
Pertemuan dengan putri sulung pram ini dan calon
menantunya itu, ayah sama sekali tidak pernah menyinggung bagaimana sikap Pramoedya
terhadapnya beberapa tahun yang lalu, benar-benar seperti tidak terjadi apa-apa
diantara mereka berdua, menutup rapat dan tidak menyinggung sedikit pun tentang
polemik yang terjadi pada tahun 62 tersebut.
Salah seorang teman pram pernah bertanya langsung
kepada pram, alasannya mengirim anak sulungnya kepada buya hamka, pram menjawab
“ Masalah paham kami tetap berbeda, saya ingin putri saya yang muslimah harus
bersuami dengan laki-laki yang seiman, saya lebih mantap mengirim calon menantu
saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka, jelas Pram menerangkan
secara gamblang kepada sahabatnya.
Sesuatu yang unik, tetapi di sini pula kita melihat
bagaimana kebenaran itu ada pada pihak Buya Hamka, sebab pada akhirnya pram mengirim
anaknya ke Buya Hamka sendiri artinya menunjukkan betapa pram mengakui dalam
hal ini tentang kemuliaan Buya Hamka dan sisi lain terkait politik mereka di
masa lalu itu .
Beberapa beberapa tulisan dalam
majalah horison pada bulan Agustus tahun 2006 yang lalu, secara tidak langsung
tampaknya Pramoedya ananta Toer dengan mengirim calon menantunya ditemani anak
perempuannya tersebut kepada Buya Hamka seakan ia meminta maaf atas sikapnya
yang telah memperlakukan Buya Hamka kurang baik, jelas ini berdasarkan
penjelasan rekan sejawat pram di kantor tersebut seakan-akan secara tidak
langsung bahwasanya pram telah meminta maaf kepada Buya Hamka melalui cara
anaknya dikirim kepada Buya Hamka yang memang pram sendiri berkeinginan anaknya
itu dibimbing keislamannya.
Secara tidak langsung pula ayah telah memaafkan Pram
dengan bersedia membimbing dan memberi pelajaran agama kepada calon menantunya
jadi artinya saling memaafkan tetapi yang memulai terlebih dahulu adalah pihak
yang pada tahun 62 tadi sudah melakukan tindakan-tindakan yang sangat tidak terhormat,
kemudian menyadari dia telah melakukan kesalahan dan dia tebus kesalahan itu
dengan mengirim anaknya supaya belajar agama dengan mengirim calon menantunya
supaya diislamkan oleh Buya Hamka.
Kejujuran dan ketenangan jiwa, serta
kebersihan hati Buya Hamka mengajarkan kepada orang-orang untuk selalu memaafkan,
memaafkan menjadikan seorang menjadi mulia, menjadikannya terhormat bahkan
dengan musuhnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar