Langsung ke konten utama

keluh

  Dewasa ini aku belajar, bahwa kesunyian sangatlah keras. Memekakkan, mungkin ayahku menghabiskan seumur hidupnya untuk menghindari kesunyian. Saat berada dikesunyian, aku sulit untuk sadar dan tenang. Dalam kesenyapan dinihari, menempuh lampu yang lelap terlena. Dalam pelukan cahaya purnama, dalam pertarungan hidup yang sengit.   Entah dititik mana semua terlihat sempurna, di tempat mana hati hening dan menikmatinya. Diujung jalan mana semua akan terasa begitu sederhana, hari-hari yang sulit, malam-malam yang rumit. Aku berjalan sendiri, tunduk akan takdir, aku menerima semuanya dengan senang hati, pasrah, lelah, berusaha untuk tidak putus asa. Aku manusia lemah, perjalanan yang jauh, tangisan yang sesak, dalam sunyi semuanya terdengar jelas. Waktu yang cepat berlalu, semua terasa menua, berbeda dan berubah. Ya... dunia tetap berlanjut, semesta terus menari, hari-hari akan berlalu seperti biasanya. Hanya perasaan dan kenangan yang tersisa, entah perasaan itu ...

Ringkasan Fihi Ma Fihi





Fihi Ma Fihi

 

“Agama tidak akan pernah satu. Selalu saja ada dua atau tiga agama, dan selalu ada perang serta saling bunuh diantara mereka.

Bagaimana bisa kamu menginginkan hanya ada satu agama ? Agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat kelak, pada hari kiamat. Di dunia ini, ketunggalan agama adalah hal yang mustahil…”

(Maulana Jalaludin Rumi)

 

Kitab ini adalah karya Maulana Jalaludin Rumi yang penyampaiannya prosa. Kebanyakan pembahasan dalam setiap pasal-pasalnya merupakan jawaban dan tanggapan atas bermacam pertanyaan dalam konteks dan kesempatan yang berbeda-beda.

Sebagian dari isi pembahasan kitab ini berisi percakapan antara Rumi dengan Mu’inuddin sulaiman barunah, seorang lelaki yang memiliki kedudukan tinggi di birokrasi pemerintahan seljuk romawi.

Mu’inuddin adalah orang yang sangat merindukan para ahli batin dan termasuk golongan yang meyakini kewalian maulana rumi.

Kitab Fihi Ma Fihi ini berisi kumpulan materi perkuliahan, 71 pasal, refleksi dan komentar yang membahas masalah sekitar akhlak dan ilmu-ilmu Irfan yang dilengkapi dengan tafsiran atas al-Qur’an dan Hadis.

Ada juga beberapa pembahasan yang uraian lengkapnya dapat ditemukan dalam kitab Matsnawi.

 

Seperti halnya diwan Matsnawi, kitab ini menyelipkan berbagai analogi, hikayat sekaligus komentar Maulana Rumi. Selain itu, kitab ini bisa membantu kita untuk memahami pemikiran beliau dan menyingkap maksud-maksud  ucapannya dalam berbagai kitab lainnya.

 

Maulana Rumi juga tidak lupa mencantumkan beberapa nama yang memiliki hubungan emosional dengan beliau. Seperti Baha’ Walad (ayahnya), Burhanuddin Muhaqqiq al-Tarmidzi (guru ayahnya) yang mendidiknya setelah sang ayah wafat, Syamsuddin Tabrizi (sang maha guru Rumi), dan juga kekasih sekaligus penolongnya, Shalahuddin Zarkub.

Kitab Fihi Ma Fihi juga memuat ensiklopedi budaya Maulana Jalaluddin Rumi. Diketahui bahwa beliau memiliki pengetahuan yang sangat dalam dan luas tentang bermacam-macam isu.

Sebagian dari kemampuannya adalah bagaimana ia bisa mengungkapkan gagasan cemerlang dengan memakai redaksi yang biasa digunakan sehari-hari.

Misalnya ketika beliau menjelaskan roh Islam dan kehendak Allah dengan segala ciptaan-Nya, beliau memakai term ‘Isyq (kerinduan dan kecenderungan relung hati pada Wujud yang dirindukan) yang dapat memengaruhi perasaan dan memalingkan akal, jiwa dan hati dalam waktu yang bersamaan.

Tujuan pokok dari kitab Fihi Ma Fihi ini adalah: Tarbiyah rohani pada manusia agar ia mengikuti apa yang dikehendaki Allah, Tuhan semesta dan jagat raya ini.

 

 

PASAL 1

SEMUANYA KARENA ALLAH

Rasulullah Saw. bersabda: “Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mengunjungi para pemimpin, dan  sebaik-baiknya para pemimpin adalah mereka yang mengunjungi ulama. Sebaik-baik pemimpin adalah ia yang berada di depan pintu rumah orang fakir, dan seburuk-buruk orang fakir adalah ia yang berada di depan pintu rumah pemimpin.”

Banyak orang yang merasa puas hanya dengan memahami makna redaksi hadis ini secara tekstual, bahwa seorang ulama tidak seharusnya mengunjungi para pemimpin agar tidak menjadi seburuk-buruknya ulama.

Padahal makna yang sebenarnya dari hadis tersebut bukanlah seperti itu, melainkan bahwa seburuk-buruk ulama adalah mereka yang bergantungkepada para pemimpin, semua yang mereka lakukan demi mendapatkan simpati dari para pemimpin.

Sementara ilmu yang mereka miliki, sejak awal diniatkan sebagai media agar mereka dapat bercengkerama dengan para pemimpin, agar diberi penghormatan dan jabatan yang tinggi.

Mereka mengubah dirinya dari bodoh menjadi berilmu semata-mata demi para pemimpin. Ketika ulama itu menjadi terpelajar dan berpendidikan karena takut pada para pimpinan dan ingin dipuji, maka ia akan menjadi tunduk pada kekuasaan dan arahan sang pemimpin.

Mereka menyenangkan diri dengan penuh harap agar sang pemimpin memerhatikan. Jadi, tidak peduli apakah ulama itu yang datang mengunjungi pemimpin atau pemimpin itu yang mengunjungi ulama, tetap menjadikan ulama sebagai pengunjung dan pemimpinlah yang dikunjungi.

Sementara ketika seorang ulama menuntut ilmu bukan demi seorang pemimpin, melainkan karena Allah semata sejak awal hingga akhir, maka tingkah laku dan kebiasaannya akan sesuai dengan jalan yang benar karena memang itulah tabiatnya dan mereka tidak akan mampu untuk melakukan hal yang sebaliknya, seperti ikan yang tidak bisa hidup dan tumbuh berkembang kecuali di dalam air.

Ulama semacam ini memiliki akal yang dapat mengontrol dan mencegah dirinya dari perbuatan buruk.

Pada waktu yang bersamaan, semua orang yang semasa dengannya akan tercerahkan dan segan kepadanya, serta memperoleh bantuan-bantuan dari cahaya dan perumpamaan-perumpamaannya, baik mereka sadari atau ketika ulama semacam ini datang mengunjungi pemimpin, maka sejatinya dialah yang dikunjungi dan pemimpin adalah pengunjungnya. karena dalam segala kondisi, pemimpin itulah yang memperoleh pertolongan-pertolongan dan banyak manfaat darinya.

Ulama ini tidak butuh kepada pemimpin itu. Ia laksana matahari yang memancarkan cahayanya, yang tugasnya adalah untuk memberi kepada semua makhluk, yang mengubah bebatuan menjadi akik dan yakut, yang menyulap gunung di bumi menjadi tambang-tambang tembaga, emas, perak, dan besi, yang menjadikan bumi hijau bersemi, dan yang memberkati pepohonan dengan buah-buahan yang berlimpah. Pekerjaan ulama ini adalah memberi dan tidak menerima.

Dalam sebuah peribahasa Arab disebutkan: “Kami telah belajar untuk memberi, tapi tidak untuk menerima.” Dalam kondisi apapun, ulama yang sesungguhnya adalah yang dikunjungi, dan para pemimpin yang mengunjungi.

 

PASAL 2

MANUSIA ADALAH ASTROLAH ALLAH

Seseorang berkata: “Maulana tidak mengucap sepatah kata pun.” Maulana Rumi berkata: “Baiklah, pikiranku yang membawa orang itu kepadaku. Tetapi pikiranku tidak bisa mengatakan: “Bagaimana kabarmu? Atau bagaimana kabar semua yang ada bersamamu?” Pikiran tanpa kata-kata ini yang telah membawa orang itu kemari.

Jika hakikat dalam diriku membawanya kemari dan dapat membawa dirinya ke tempat yang lain, lalu apa hebatnya kata-kata itu?”Kata-kata adalah bayangan dan cabang dari hakikat; jika bayangan bisa menarik sebuah benda, maka tentu hakikat akan jauh lebih bisa.

Kata-kata adalah media. Yang sesungguhnya membawa manusia kepada orang lain adalah unsur harmoni (keserasian)nya, dan bukan kata-kata. Bahkan ketika seseorang telah melihseratus ribu mukjizat, fakta, dan karomah, sementara tidak ada unsur harmoni yang mengikatnya dengan nabi atau wali yang menunjukkan kejadian luar biasanya itu, maka semua itu tidak akan ada gunanya sama sekali.

Unsur harmoni itulah yang membuat seorang manusia merasa bersemangat, bingung, dan sekaligus tidak tenang. Seandainya di dalam jerami tidak ada amber, maka jerami itu tidak akan pernah tertarik pada amber.

Keserasian ini sangatlah samar dan tak terlihat oleh mata. Pemikiran tentang sesuatulah yang membawa orang tersebut datang kepada sesuatu yang dipikirkannya. Memikirkan taman akan membawa seseorang menuju taman, dan memikirkan toko akan mengantarkan orang itu ke toko.

Tetapi di antara pemikiran-pemikiran ini terdapat sesuatu yang palsu dan sulit dibedakan. Bukankah kamu pernah mendatangi suatu tempat, tetapi kemudian kamu menyesal karena telah mendatanginya dan berkata: “Aku pikir ini tempatnya, tapi ternyata bukan”

Pemikiran ini laksana sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang yang sedang bersembunyi. Ketika pemikiran menghilang dari pandangan dan hanya hakikat tanpa selubung pemikiran yang tampak, maka akan terjadi kebingungan yang luar biasa. Jika hal itu terjadi, tidak akan ada lagi penyesalan.

Ketika muncul hakikat yang menarikmu, maka tidak akan ada hal lain lagi selain hakikat itu. Hakikat itu sendirilah yang menarikmu: “Pada hari dinampakkan segala rahasia (QS.At-Thariq: 9).” Lantas apa gunanya berbicara?

Seorang raja memberikan kepada satu tentaranya seporsi makanan untuk seratus tentara. Tentara lainnya mengeluh. Baginda raja berkata di dalam hatinya: “Akan tiba waktunya aku akan beritahukan pada kalian alasannya, dan kalian akan mengerti mengapa hal ini harus kulakukan.

Ketika perang besar terjadi, semua tentaranya melarikan diri hingga tersisa satu tentara itu sendirian. Raja berkata: “Inilah tujuanku memberimu porsi makanan untuk seratus tentara.”

Seorang manusia harus membersihkan sifat tamyiznya dari berbagai macam kepentingan, dan hendaknya mencari teman di jalan Allah, sebab agama seseorang bisa diketahui lewat teman yang dikenalnya.

Selain itu jika seseorang menghabiskan usianya untuk bersahabat dengan mereka yang sifat tamyiznya kurang, maka sifat tamyiz yang dimilikinya juga akan melemah, dan akhirnya sahabat sejatinya itu akan berlalu tanpa kita sadari. Kamu melayani tubuh yang tidak memiliki sifat tamyiz.

Tamyiz adalah sifat yang selalu tersembunyi dalam jiwa manusia. Tidakkah kamu melihat bahwa orang gila juga memiliki tangan dan kaki tetapi kekurangan sifat tamyiz?

Tamyiz, sekali lagi, adalah esensi murni yang terdapat dalam dirimu, sementara kamu asyik memberi makan dan minuman pada tubuh yang tak ber-tamyiz siang dan malam. Bahkan kamu berpendapat bahwa tubuh berdiri di atas sifat ini, padahal justru tamyiz inilah yang berdiri di atas tubuh.

Bagaimana bisa kamu mencurahkan seluruh kemampuanmu untuk menjaga tubuh ini sementara kamu sepenuhnya melalaikan esensi yang murni?

Pada hakikatnya, tubuh ini bergantung pada esensi itu, tetapi esensi tidak bergantung pada tubuh. Cahaya yang terpancar dari jendela-jendela mata, telinga, dan lainnya. Seandainya jendela-jendela ini tidak ada, maka cahaya itu akan tetap terpancar melalui jendela-jendela yang lain.

Misalnya kamu meletakkan sebuah lentera di hadapan matahari sembari berkata: “Aku dapat melihat matahari dengan lentera ini.”

Hal ini tentu tidak mungkin, bahkan jika misalnya kamu tidak meletakkan lentera itu di depannya, matahari tetap akan memancarkan sinarnya kepadamu. Lantas apa gunannya sebuah lentera?

Kita seharusnya tidak pernah berputus asa kepada Allah, karena harapan adalah permulaan bagi jalan keselamatan.

Jika kamu tidak dapat melintas di jalan itu, maka usahakanlah paling tidak untuk berada di garis start jalan itu. Jangan pernah katakan “Jalanku sungguh berliku, aku telah melakukan banyak kesalahan.” Teguhlah di jalan istiqamah! Maka tidak akan ada lagi kesalahan-kesalahan lainnya.

Istiqamah itu seperti tongkat Musa, dan godaannya seperti tipu daya para penyihir Fir’aun, ketika istikamah muncul, ia akan menelan tipu daya para penyihir Fir’aun itu. Jika kamu teguh pada jalan lurus ini, maka sama saja kamu menyelamatkan dirimu sendiri, sebab dengan keteguhan itu kamu akan sampai kepada Allah.

Alangkah sayangnya jika seseorang yang telah meraih pantai samudera, hanya merasa puas dengan seteguk atau satu kendi air. Sementara ia melalaikan berbagai macam mutiara berkilauan dan ratusan ribu benda-benda indah yang sebenarnya bisa ia dapatkan di dalam samudera itu

Lantas apa gunanya ia mengambil air dari samudera itu? Apa bangganya melakukan hal tersebut bagi mereka yang berakal? Apa yang telah mereka wujudkan?

Pada hakikatnya, dunia ini tak ubahnya seperti buih di lautan, dan airnya adalah ilmu-ilmu para wali; lalu di mana mutiara itu berada? Dunia ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah buih yang dipenuhi jerami.

Akan tetapi karena gulungan ombak dan harmoni irama samudera yang setia menemani sang gelombang, buih itu mewujud menjadi sebentuk keindahan. 

Manusia adalah astrolab (Alat perbintangan kuno yang digunakan untuk mengukur naiknya matahari dan bintang-bintang) Allah, namun dibutuhkan seorang astronom untuk mengetahui astrolab. 

Jika seorang penjual sayuran atau makanan memiliki astrolab, apa yang akan mereka dapatkan darinya? Dengan alat perbintangan kuno ini, apa yang bisa diketahui oleh pedagang sayur dan makanan itu tentang tingkah laku, perputaran, dan tanda-tanda, lintasan, dan pengaruh bintang di langit?

Sebaliknya, astrolab akan sangat bermanfaat jika berada di tangan para astronom. Itulah mengapa kemudian muncul kata-kata: “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.

”Seperti halnya astrolab dari tembaga yang merupakan cerminan bintang-bintang di langit, maka wujud manusia—sebagaimana dinyatakan Allah dalam fi rman-Nya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (QS. Al-Isra’: 70).”

Juga merupakan astrolab Allah. Ketika Allah SWT telah menjadikan manusia bisa mengetahui dan mengenal diri-Nya, maka hamba ini akan mampu melihat ke dalam wujud astrolab itu; dirinya telah melebur dengan Tuhan dan keindahan-Nya yang mutlak, detik demi detik, sekilas demi sekilas.

Keindahan itu sama sekali tidak pernah hilang dari cermin ini. Allah memiliki hamba-hamba yang menutup diri mereka dengan hikmah, makrifat (mengenal Allah), dan karomah (hal luar biasa yang dimiliki orang-orang tertentu).

Meski mereka tidak dianugerahi pandangan khusus yang dimiliki orang-orang spesial, akan tetapi semangat yang kuat memotivasi mereka untuk menutup diri, seperti yang dikatakan oleh al-Mutanabbi:

Perempuan-perempuan itu mengenakan sutra

yang dibordir bukan untuk mempercantik diri,

Melainkan untuk menjaga kecantikan mereka

dari mata-mata yang penuh gairah. 

 

PASAL 3

MATILAH KALIAN SEBELUM KALIAN MATI

Amir Barwanah berkata: “Sungguh hati dan jiwaku ini sangat ingin melayani Allah siang dan malam, akan tetapi karena kesibukanku dengan urusan-urusan Mongol, aku jadi tidak bisa mewujudkan keinginan untuk bersua dengan-Nya.

”Maulana Rumi menjawab: “Sesungguhnya yang kamu lakukan ini juga merupakan bentuk khidmat (melayani) Allah, karena yang kamu lakukan itu menjadi media untuk memberikan rasa aman dan perlindungan bagi para Muslim. Kamu telah mengorbankan jiwa, harta, dan ragamu untuk membuat mereka semua memperoleh ketenangan dalam melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah.

Tentu saja hal ini juga merupakan amal yang baik. Allah telah menganugerahimu kecenderungan kepada amal yang baik ini. Rasa cintamu yang besar pada apa yang kamu lakukan ini merupakan bukti.

Seseorang bertanya: “Apakah ada cara lain yang lebih dekat kepada Allah daripada salat?Maulana Rumi menjawab: “Ada, yaitu salat juga”.

Tetapi bukan salat dalam bentuk luarnya saja.”Salat yang kamu sebut dalam pertanyaanmu tadi adalah bentuk dari salat itu sendiri, karena ia memiliki pembuka dan penutup.

Sementara semua hal yang memiliki pembuka dan penutup dinamakan bentuk, takbiratul ihram adalah pembuka salat, dan salam adalah penutupnya. Sama halnya dengan syahadat.

Syahadat bukan merupakan sesuatu yang dilafalkan dengan bibir saja, tetapi syahadat juga memiliki permulaan dan akhiran.

Segala sesuatu yang diekspresikan dengan kata, suara, dan memiliki awalan serta akhiran adalah bentuk dan kerangka.

Sementara jiwa dari syahadat itu tidaklah terbatas dan tidak memiliki titik akhir, tak bermula dan tak berakhir.Masih ada sesuatu yang lain, yaitu salat yang ditunjukkan para Nabi.

Nabi Muhammad Saw. menjelaskan perihal salat ini kepada kita semua melalui sabdanya: “Aku memiliki sebuah waktu bersama Allah yang tidak dapat dideteksi oleh nabi-nabi lain maupun para malaikat yang dekat dengan Allah.” Dari sini, bisa kita pahami bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah jiwa (roh)nya salat.

 Bukan semata bentuk luarnya saja, melainkan kekhusyukan yang sempurna. Sebuah kondisi di mana bentuk apa pun tidak dapat masuk ke dalamnya, tidak ada tempat bagi mereka di sana, bahkan Jibril yang merupakan wujud suci, sekalipun tak dapat masuk ke dalamnya.

Dikisahkan bahwa pada suatu hari para sahabat ayahku melihat ayahku (Bahauddin, semoga Allah menyucikan jiwa beliau) sedang berada dalam kekhusyukan yang sempurna. Kebetulan saat itu telah masuk waktu salat, sehingga beberapa murid memanggil ayahku: “Waktu salat telah tiba.”

Ayahku tidak menghiraukan suara yang memanggil, sehingga mereka membiarkannya dan menunaikan salat tanpa ayahku.

Akan tetapi, ada dua murid yang mengikuti apa yang dilakukan ayahku dan tidak ikut menunaikan salat adalah Khwajagi, salah satu murid yang melaksanakan salat, ditunjukkan ke dalam mata hatinya sehingga ia bisa melihat dengan jelas bahwa punggung semua orang yang salat berjemaah di belakang imam menghadap Ka’bah (salat dengan membelakangi Ka’bah), sementara ayahku dan dua murid yang mengikutinya justru menghadap Ka’bah. Hal itu dikarenakan ayahku telah menghilangkan kekitaan serta keakuannya dan menjadi fana’.

Wujud mereka bertiga telah ‘mati’ dan telah meneguk cahaya Tuhan; “Matilah kalian sebelum kalian mati,” mereka telah menyatu dengan cahaya Allah.

Semua orang yang memalingkan wajahnya dari cahaya Allah dan menghadapkan wajahnya ke tembok, maka mereka menghadapkan punggungnya kepada kiblat, karena cahaya Allah adalah kiblat yang sebenarnya.

Cahaya Allah adalah roh dari kiblatSiapa saja yang menghadap Ka’bah, ketahuilah bahwa nabi Muhammad telah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dunia.

Jika Ka’bah adalah kiblat dunia, maka yang lebih utama adalah ketika Ka’bah menjadi kiblat bagi seseorang

.Nabi Muhammad Saw. pernah menegur seorang sahabat dan berkata: “Aku memanggilmu, mengapa kamu tak datang?” Sahabat itu menjawab: “Aku sedang khusyuk salat.” Nabi bertanya lagi: “Kamu betul, tetapi bukankah aku memanggilmu untuk salat?” Sahabat itu menjawab: “Aku pasrah.”

 

 PASAL 4

KAMI MULIAKAN ANAK KETURUNAN ADAM

Salah satu dari mereka berkata: “Ada sesuatu yang aku lupakan.” Maulana Rumi menjawab: “Ada satu hal di alam semesta ini yang tak patut untuk dilupakan. Kalau kamu melupakan segala hal tapi tetap mengingat satu hal itu, maka kamu tak perlu khawatir.

Sebaliknya, kalau kamu bisa meraih dan mengingat segalanya tapi kamu lupa akan satu hal itu, maka seolah-olah kamu tak pernah berbuat apa-apa. Hal ini diibaratkan seperti seorang raja yang mengirimmu ke sebuah desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Kalau kamu pergi ke desa itu tapi kamu malah melakukan hal yang lain dan tak kunjung mengerjakan apa yang diperintahkan, maka seolah-olah kamu sama sekali tak pernah melakukan apa-apa.”

Demikianlah, manusia datang ke alam semesta ini untuk melaksanakan tugas tertentu, dan itulah tujuan mereka. Kalau dia tidak mengerjakan tugas yang menjadi alasan kenapa ia datang, maka seolah-olah ia tak pernah mengerjakan apa-apa

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh. (Al-ahzab:72)

Amanah itu Kami tawarkan kepada langit, tapi ia merasa tak sanggup untuk memikulnya. Coba perhatikan berapa banyak akibat yang akan timbul dari amanah itu sehingga bisa membuat manusia kebingungan.

Amanah itu bisa mengubah bebatuan menjadi akik dan nilam, menyulap pegunungan menjadi tambang-tambang emas dan perak, dan menyegarkan tanaman di bumi serta menghidupkannya kembali sebagai sebuah pemandangan yang sangat indah layaknya surga ‘Adn. Juga tanah yang menerima bibit-bibit kemudian menghasilkan buah-buahan.

Bumi yang menerima dan menampakkan ratusan ribu keajaiban yang sulit dijelaskan. Kemudian giliran pegunungan yang membuahkan logam-logam yang melimpah ruah. Semua itu adalah produksi dari langit, bumi, dan gunung. Akan tetapi semua itu tidak dilakukan sendiri oleh mereka, melainkan melalui perantaraan manusia

ÙˆَÙ„َÙ‚َدْ ÙƒَرَّÙ…ْÙ†َا بَÙ†ِÙŠْٓ اٰدَÙ…َ

”Dan Sesungguhya telah kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra : 70)

Allah tidak berfirman: “Sungguh telah Kami muliakan langit dan bumi.” Begitulah, semua hal yang tidak bisa dilakukan seorang diri oleh langit, bumi, dan gunung, bisa ditangani oleh manusia.

Kalau manusia sudah melakukan hal tersebut, maka hilanglah predikat zalim dan bodoh dari dirinya. Kamu bisa saja berkata: “Jika aku tidak melakukan hal itu, masih banyak hal lain yang bisa aku lakukan,” padahal manusia tidak diciptakan untuk melakukan hal-hal selain itu.

Misalnya kamu membawa sebilah pedang baja dari India yang tak ternilai harganya seperti yang ada di lemari para raja, lalu kamu memakainya untuk mencincang daging busuk sembari berkata: “Aku tidak akan membiarkan pedang ini tak berfungsi, aku akan menggunakan untuk berbagai hal.

 

Bisa saja kamu menunjukkan justifi kasimu dengan berkata: “Tapi aku mengabdikan seluruh kemampuanku untuk melaksanakan perkara-perkara yang luhur dan mulia. Aku belajar ilmu hukum (fiqih), filsafat, logika, astronomi, kedokteran, dan lain-lain.”

Tapi kamu melakukan semua itu untuk dirimu sendiri. Kamu belajar hukum agar tak seorang pun bisa mencuri roti dari tanganmu, atau menelanjangimu, atau bahkan membunuhmu.

Ringkasnya: kamu melakukannya agar kamu merasa aman. Kamu belajar astronomi dan seluk-beluk bintang dan pengaruhnya terhadap bumi, baik ringan maupun berat, yang menandakan keamanan atau bahaya, semua ini berkaitan dengan keadaanmu dan untuk melayani tujuanmu sendiri.

Entah ramalan bintang sedang baik atau buruk, selalu bertalian dengan nasibmu, dan seterusnya semua karena demi dirimu sendiri. Ketika kalian renungkan hal ini baik-baik, akan kalian dapati bahwa asal segala sesuatu adalah diri kalian sendiri, dan segala sesuatu yang lain tadi adalah cabang dari diri kalian.

Jika cabang itu memiliki banyak perincian, keajaiban, dan bentuk-bentuk luar biasa yang tak berujung, maka renungkanlah apa yang kalian miliki karena kalian adalah asal dari segala sesuatu itu.

Ketika cabang-cabang itu mengalami ketimpangan, kemerosotan, kebahagiaan, dan ketidakberuntungan, renungkanlah dirimu yang menjadi asal dari semua itu; apa saja yang membuat dunia spiritual (roh) kalian mengalami semua hal itu.

Roh seseorang memiliki karakteristik seperti itu, dan akan melahirkan hal-hal seperti itu juga. Karena memang pada dasarnya seorang manusia sudah seharusnya seperti ini.

 

Sama halnya pada saat Majnun hendak mengunjungi rumah Laila. Ketika Majnun masih sadar, ia mengemudikan untanya menuju rumah Laila. Tetapi saat ia terbenam dalam fantasinya tentang Laila dan melupakan diri dan untanya, unta itu menelusuri jalan kembali ke desa di mana anak unta itu disimpan.

Saat Majnun bangun dari imajinasinya, ia menemukan dirinya telah mundur dua hari perjalanan. Selama tiga bulan ia menelusuri jalan ini, justru ia semakin jauh dengan tujuannya. Akhirnya ia berkata “Unta ini bencana buatku!,” ia lalu turun dari unta itu dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.

Untaku ingin kembali, sementara aku ingin terus maju.

Sungguh aku dan ia sangatlah berbeda.

 

Aku adalah seekor burung. Aku adalah seekor bulbul. Aku adalah seekor beo. Kalau mereka berkata padaku: “Tunjukkan jenis suara yang lain selain suaramu,” niscaya aku tidak akan bisa melakukannya. Jika lidahku memang sudah demikian, maka aku tak bisa berbicara dengan suara lain.

Hal ini berbeda dengan mereka yang bukan burung yang bisa mempelajari suara-suara burung, bahkan mereka adalah musuh-musuh burung dan pemburu burung itu. Mereka bernyanyi dan bersiul dengan nada lain untuk mengelabui burung agar dirinya dianggap sebagai burung.

Kalau mereka disuruh untuk mengeluarkan suara yang lain, mereka akan melakukannya karena suara itu hanya dibuat oleh mereka, meski sesungguhnya suara itu bukan milik mereka.

Seperti para cendekiawan, mereka bisa membunyikan suara yang lain karena mereka telah belajar untuk mencuri suara-suara itu, dan untuk memamerkan nada itu di setiap rumah.

to be continued next time

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sadtember

  aku merayu tubuhku  agar patuh segera pulang kepada doa - doa panjang  aku merayu tuhan untuk tetap mengelus tulang - belulangku hingga patah sampai kembali ke tanah.  doa tengah malam jangan menjauh meski bohong bolong ompong tak ada yang lebih sialan dari hiruk - pikuk dunia selain hilangnya doa - doa dan keyakinan yang kabur entah ke mana. tubuh tabah menengadah untuk teriakan paling sunyi  aku menjadi rimpuh dan mandi air tubuhku  soal segala rimpang yang tak rampung - rampung hening membuat malam semakin basah tumpah ruah riuh  oleh doa - doa yang sakit yang tak bisa lebih panjang dari isak sudah  telan sajalah !  dunia sudah sialan ingin mengumpat tetapi takut doa ditolak. Rasanya seperti ingin menyerah saja.

Penyair bukan Penyiar

  Kata-kata lembut melunakkan hati yang lebih keras dari batu, kata-kata kasar mengeraskan hati yang lebih lembut dari sutra." – imam Al Ghazali Aku senang menulis baik itu dicatatan android, motivasi,puisi,nasehat, yang memang aku berikan untuk diriku sendiri. Tidak ada salahnya kalo catatan itu aku tuangkan diblog pribadi . ada kepuasan tersendiri jika tulisan ku mampu menusuk ke semua hati dan kepala yang membacanya . kata imam ghazali dalam tulisannya “jika kamu bukan anak raja dan anak ulama, maka menulislah “ Menulis bisa dimana saja, kapan kamu mau , dan apa yang saja yang kamu tulis.   Sedikit catatan dari keresahan dari aku kali ini. Penyair   bukan Penyiar . Penyiar kurang   percaya sama suara sendiri, bukan ga pd sih, itu hanya alasan ku saja. Penyair juga bukan, apa ya ? syaratnya jadi penyair , sulit bukan berarti tidak mungkin, siapapun bisa jadi apapun . Penting atau tidak.   menjadi tidak penting jika didasari oleh kesadaran bahwa menulis...

Literasi Psikologi

  Memaksakan diri menjadi baik. Sebagian orang mempunyai prinsip bahwa sumber kebahagiaan mereka adalah bersikap baik dan memberikan kesenangan kepada orang lain. Namun,kebanyakan ketika mereka ingin memberikan kesan yang terbaik akhirnya menjadi sebuah tuntutan,biasanya dalam dunia psikologi dikenal dengan  good girl syndrome . Sebuah keadaan justru merenggut kebahagiaan. Sebelum membahas lebih jauh,beberapa hari yang lalu saya membuka buku-buku psikolgi, Dulu saya pernah bediskusi dengan teman berasal dari jurusan psikologi. Diantara pembahasan yang manurutku menarik adalah  good girl syndrome . Ketika kecil dulu,sering kali kita dinasehati oleh orang tua,guru,atau orang yang lebih tua dari kita agar kita menjadi anak yang baik. Kebanyakan orang tua juga memiliki harapan yang sama terhadap anaknya, selalu disiplin, rajin, sopan santun, dan menghargai orang lain. Memang betul,tidak ada salah dengan hal ini, pada dasarnya semua orang tua pasti mengharapkan...