Fihi Ma Fihi
“Agama tidak akan pernah satu. Selalu saja ada dua atau tiga agama,
dan selalu ada perang serta saling bunuh diantara mereka.
Bagaimana bisa kamu menginginkan hanya ada satu agama ? Agama tidak
akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat kelak, pada hari kiamat. Di dunia
ini, ketunggalan agama adalah hal yang mustahil…”
(Maulana Jalaludin Rumi)
Kitab ini adalah karya Maulana Jalaludin Rumi yang penyampaiannya prosa.
Kebanyakan pembahasan dalam setiap pasal-pasalnya merupakan jawaban dan tanggapan
atas bermacam pertanyaan dalam konteks dan kesempatan yang berbeda-beda.
Sebagian dari isi pembahasan kitab ini berisi percakapan antara Rumi
dengan Mu’inuddin sulaiman barunah, seorang lelaki yang memiliki kedudukan
tinggi di birokrasi pemerintahan seljuk romawi.
Mu’inuddin adalah orang yang sangat merindukan para ahli batin dan
termasuk golongan yang meyakini kewalian maulana rumi.
Kitab Fihi Ma Fihi
ini berisi kumpulan materi perkuliahan, 71 pasal, refleksi dan komentar yang
membahas masalah sekitar akhlak dan ilmu-ilmu Irfan yang dilengkapi dengan
tafsiran atas al-Qur’an dan Hadis.
Ada juga beberapa
pembahasan yang uraian lengkapnya dapat ditemukan dalam kitab Matsnawi.
Seperti halnya diwan
Matsnawi, kitab ini menyelipkan berbagai analogi, hikayat sekaligus komentar Maulana
Rumi. Selain itu, kitab ini bisa membantu kita untuk memahami pemikiran beliau
dan menyingkap maksud-maksud ucapannya
dalam berbagai kitab lainnya.
Maulana Rumi juga
tidak lupa mencantumkan beberapa nama yang memiliki hubungan emosional dengan
beliau. Seperti Baha’ Walad (ayahnya), Burhanuddin Muhaqqiq al-Tarmidzi (guru ayahnya)
yang mendidiknya setelah sang ayah wafat, Syamsuddin Tabrizi (sang maha guru
Rumi), dan juga kekasih sekaligus penolongnya, Shalahuddin Zarkub.
Kitab Fihi Ma Fihi
juga memuat ensiklopedi budaya Maulana Jalaluddin Rumi. Diketahui bahwa beliau
memiliki pengetahuan yang sangat dalam dan luas tentang bermacam-macam isu.
Sebagian dari
kemampuannya adalah bagaimana ia bisa mengungkapkan gagasan cemerlang dengan
memakai redaksi yang biasa digunakan sehari-hari.
Misalnya ketika
beliau menjelaskan roh Islam dan kehendak Allah dengan segala ciptaan-Nya,
beliau memakai term ‘Isyq (kerinduan dan kecenderungan relung hati pada Wujud
yang dirindukan) yang dapat memengaruhi perasaan dan memalingkan akal, jiwa dan
hati dalam waktu yang bersamaan.
Tujuan pokok dari
kitab Fihi Ma Fihi ini adalah: Tarbiyah rohani pada manusia agar ia mengikuti
apa yang dikehendaki Allah, Tuhan semesta dan jagat raya ini.
PASAL 1
SEMUANYA KARENA ALLAH
Rasulullah Saw.
bersabda: “Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mengunjungi para pemimpin,
dan sebaik-baiknya para pemimpin adalah
mereka yang mengunjungi ulama. Sebaik-baik pemimpin adalah ia yang berada di
depan pintu rumah orang fakir, dan seburuk-buruk orang fakir adalah ia yang
berada di depan pintu rumah pemimpin.”
Banyak orang yang merasa puas hanya dengan memahami makna redaksi
hadis ini secara tekstual, bahwa seorang ulama tidak seharusnya mengunjungi
para pemimpin agar tidak menjadi seburuk-buruknya ulama.
Padahal makna yang sebenarnya dari hadis tersebut bukanlah seperti
itu, melainkan bahwa seburuk-buruk ulama adalah mereka yang bergantungkepada
para pemimpin, semua yang mereka lakukan demi mendapatkan simpati dari para
pemimpin.
Sementara ilmu yang mereka miliki, sejak awal diniatkan sebagai
media agar mereka dapat bercengkerama dengan para pemimpin, agar diberi penghormatan
dan jabatan yang tinggi.
Mereka mengubah dirinya dari bodoh menjadi berilmu semata-mata demi
para pemimpin. Ketika ulama itu menjadi terpelajar dan berpendidikan karena takut
pada para pimpinan dan ingin dipuji, maka ia akan menjadi tunduk pada kekuasaan
dan arahan sang pemimpin.
Mereka menyenangkan diri dengan penuh harap agar sang pemimpin memerhatikan.
Jadi, tidak peduli apakah ulama itu yang datang mengunjungi pemimpin atau
pemimpin itu yang mengunjungi ulama, tetap menjadikan ulama sebagai pengunjung
dan pemimpinlah yang dikunjungi.
Sementara ketika seorang ulama menuntut ilmu bukan demi seorang
pemimpin, melainkan karena Allah semata sejak awal hingga akhir, maka tingkah
laku dan kebiasaannya akan sesuai dengan jalan yang benar karena memang itulah
tabiatnya dan mereka tidak akan mampu untuk melakukan hal yang sebaliknya,
seperti ikan yang tidak bisa hidup dan tumbuh berkembang kecuali di dalam air.
Ulama semacam ini memiliki akal yang dapat mengontrol dan mencegah dirinya
dari perbuatan buruk.
Pada waktu yang bersamaan, semua orang yang semasa dengannya akan
tercerahkan dan segan kepadanya, serta memperoleh bantuan-bantuan dari cahaya
dan perumpamaan-perumpamaannya, baik mereka sadari atau ketika ulama semacam
ini datang mengunjungi pemimpin, maka sejatinya dialah yang dikunjungi dan
pemimpin adalah pengunjungnya. karena dalam segala kondisi, pemimpin itulah
yang memperoleh pertolongan-pertolongan dan banyak manfaat darinya.
Ulama ini tidak butuh kepada
pemimpin itu. Ia laksana matahari yang memancarkan cahayanya, yang tugasnya
adalah untuk memberi kepada semua makhluk, yang mengubah bebatuan menjadi akik
dan yakut, yang menyulap gunung di bumi menjadi tambang-tambang tembaga, emas,
perak, dan besi, yang menjadikan bumi hijau bersemi, dan yang memberkati
pepohonan dengan buah-buahan yang berlimpah. Pekerjaan ulama ini adalah memberi
dan tidak menerima.
Dalam sebuah peribahasa Arab disebutkan: “Kami telah belajar
untuk memberi, tapi tidak untuk menerima.” Dalam kondisi apapun, ulama yang
sesungguhnya adalah yang dikunjungi, dan para pemimpin yang mengunjungi.
PASAL 2
MANUSIA ADALAH ASTROLAH ALLAH
Seseorang berkata: “Maulana tidak mengucap sepatah kata pun.” Maulana Rumi berkata: “Baiklah, pikiranku yang membawa orang itu kepadaku. Tetapi pikiranku tidak bisa mengatakan: “Bagaimana kabarmu? Atau bagaimana kabar semua yang ada bersamamu?” Pikiran tanpa kata-kata ini yang telah membawa orang itu kemari.
Jika hakikat dalam diriku membawanya kemari dan dapat membawa dirinya ke tempat yang lain, lalu apa hebatnya kata-kata itu?”Kata-kata adalah bayangan dan cabang dari hakikat; jika bayangan bisa menarik sebuah benda, maka tentu hakikat akan jauh lebih bisa.
Kata-kata adalah media. Yang sesungguhnya membawa manusia kepada
orang lain adalah unsur harmoni (keserasian)nya, dan bukan kata-kata. Bahkan
ketika seseorang telah melihseratus ribu mukjizat, fakta, dan karomah,
sementara tidak ada unsur harmoni yang mengikatnya dengan nabi atau wali yang menunjukkan
kejadian luar biasanya itu, maka semua itu tidak akan ada gunanya sama sekali.
Unsur harmoni itulah yang
membuat seorang manusia merasa bersemangat, bingung, dan sekaligus tidak tenang.
Seandainya di dalam jerami tidak ada amber, maka jerami itu tidak akan pernah
tertarik pada amber.
Keserasian ini sangatlah samar
dan tak terlihat oleh mata. Pemikiran tentang sesuatulah yang membawa orang tersebut
datang kepada sesuatu yang dipikirkannya. Memikirkan taman akan membawa
seseorang menuju taman, dan memikirkan toko akan mengantarkan orang itu ke
toko.
Tetapi di antara pemikiran-pemikiran
ini terdapat sesuatu yang palsu dan sulit dibedakan. Bukankah kamu pernah
mendatangi suatu tempat, tetapi kemudian kamu menyesal karena telah
mendatanginya dan berkata: “Aku pikir ini tempatnya, tapi ternyata bukan”
Pemikiran ini laksana sebuah kemah yang di dalamnya terdapat seseorang
yang sedang bersembunyi. Ketika pemikiran menghilang dari pandangan dan hanya
hakikat tanpa selubung pemikiran yang tampak, maka akan terjadi kebingungan
yang luar biasa. Jika hal itu terjadi, tidak akan ada lagi penyesalan.
Ketika muncul hakikat yang menarikmu,
maka tidak akan ada hal lain lagi selain hakikat itu. Hakikat itu sendirilah
yang menarikmu: “Pada hari dinampakkan segala rahasia (QS.At-Thariq: 9).”
Lantas apa gunanya berbicara?
Seorang raja memberikan kepada satu tentaranya seporsi makanan
untuk seratus tentara. Tentara lainnya mengeluh. Baginda raja berkata di dalam
hatinya: “Akan tiba waktunya aku akan beritahukan pada kalian alasannya, dan
kalian akan mengerti mengapa hal ini harus kulakukan.
Ketika perang besar terjadi, semua tentaranya melarikan diri hingga
tersisa satu tentara itu sendirian. Raja berkata: “Inilah tujuanku memberimu
porsi makanan untuk seratus tentara.”
Seorang manusia harus membersihkan sifat tamyiznya dari berbagai
macam kepentingan, dan hendaknya mencari teman di jalan Allah, sebab agama
seseorang bisa diketahui lewat teman yang dikenalnya.
Selain itu jika seseorang menghabiskan usianya untuk bersahabat
dengan mereka yang sifat tamyiznya kurang, maka sifat tamyiz yang dimilikinya
juga akan melemah, dan akhirnya sahabat sejatinya itu akan berlalu tanpa kita
sadari. Kamu melayani tubuh yang tidak memiliki sifat tamyiz.
Tamyiz adalah sifat yang selalu tersembunyi dalam jiwa manusia.
Tidakkah kamu melihat bahwa orang gila juga memiliki tangan dan kaki tetapi
kekurangan sifat tamyiz?
Tamyiz, sekali lagi, adalah esensi murni yang terdapat dalam
dirimu, sementara kamu asyik memberi makan dan minuman pada tubuh yang tak
ber-tamyiz siang dan malam. Bahkan kamu berpendapat bahwa tubuh berdiri di atas
sifat ini, padahal justru tamyiz inilah yang berdiri di atas tubuh.
Bagaimana bisa kamu mencurahkan seluruh kemampuanmu untuk menjaga
tubuh ini sementara kamu sepenuhnya melalaikan esensi yang murni?
Pada hakikatnya, tubuh ini bergantung pada esensi itu, tetapi
esensi tidak bergantung pada tubuh. Cahaya yang terpancar dari jendela-jendela
mata, telinga, dan lainnya. Seandainya jendela-jendela ini tidak ada, maka
cahaya itu akan tetap terpancar melalui jendela-jendela yang lain.
Misalnya kamu meletakkan sebuah lentera di hadapan matahari sembari
berkata: “Aku dapat melihat matahari dengan lentera ini.”
Hal ini tentu tidak mungkin,
bahkan jika misalnya kamu tidak meletakkan lentera itu di depannya, matahari
tetap akan memancarkan sinarnya kepadamu. Lantas apa gunannya sebuah lentera?
Kita seharusnya tidak pernah berputus asa kepada Allah, karena harapan
adalah permulaan bagi jalan keselamatan.
Jika kamu tidak dapat melintas di jalan itu, maka usahakanlah paling
tidak untuk berada di garis start jalan itu. Jangan pernah katakan “Jalanku
sungguh berliku, aku telah melakukan banyak kesalahan.” Teguhlah di jalan istiqamah!
Maka tidak akan ada lagi kesalahan-kesalahan lainnya.
Istiqamah itu seperti tongkat Musa, dan godaannya seperti tipu daya
para penyihir Fir’aun, ketika istikamah muncul, ia akan menelan tipu daya para
penyihir Fir’aun itu. Jika kamu teguh pada jalan lurus ini, maka sama saja kamu
menyelamatkan dirimu sendiri, sebab dengan keteguhan itu kamu akan sampai
kepada Allah.
Alangkah sayangnya jika seseorang yang telah meraih pantai samudera,
hanya merasa puas dengan seteguk atau satu kendi air. Sementara ia melalaikan
berbagai macam mutiara berkilauan dan ratusan ribu benda-benda indah yang
sebenarnya bisa ia dapatkan di dalam samudera itu
Lantas apa gunanya ia
mengambil air dari samudera itu? Apa bangganya melakukan hal tersebut bagi
mereka yang berakal? Apa yang telah mereka wujudkan?
Pada hakikatnya, dunia ini tak ubahnya seperti buih di lautan, dan
airnya adalah ilmu-ilmu para wali; lalu di mana mutiara itu berada? Dunia ini
tidak lain dan tidak bukan hanyalah buih yang dipenuhi jerami.
Akan tetapi karena gulungan ombak dan harmoni irama samudera yang setia menemani sang gelombang, buih itu mewujud menjadi sebentuk keindahan.
Manusia adalah astrolab (Alat perbintangan kuno yang digunakan untuk mengukur naiknya matahari dan bintang-bintang) Allah, namun dibutuhkan seorang astronom untuk mengetahui astrolab.
Jika seorang penjual sayuran atau makanan memiliki astrolab, apa yang akan mereka dapatkan darinya? Dengan alat perbintangan kuno ini, apa yang bisa diketahui oleh pedagang sayur dan makanan itu tentang tingkah laku, perputaran, dan tanda-tanda, lintasan, dan pengaruh bintang di langit?
Sebaliknya, astrolab akan sangat bermanfaat jika berada di tangan
para astronom. Itulah mengapa kemudian muncul kata-kata: “Siapa yang
mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.
”Seperti halnya astrolab dari tembaga yang merupakan cerminan bintang-bintang
di langit, maka wujud manusia—sebagaimana dinyatakan Allah dalam fi rman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (QS. Al-Isra’: 70).”
Juga merupakan astrolab Allah. Ketika Allah SWT telah menjadikan
manusia bisa mengetahui dan mengenal diri-Nya, maka hamba ini akan mampu melihat
ke dalam wujud astrolab itu; dirinya telah melebur dengan Tuhan dan
keindahan-Nya yang mutlak, detik demi detik, sekilas demi sekilas.
Keindahan itu sama sekali tidak pernah hilang dari cermin ini.
Allah memiliki hamba-hamba yang menutup diri mereka dengan hikmah, makrifat
(mengenal Allah), dan karomah (hal luar biasa yang dimiliki orang-orang
tertentu).
Meski mereka tidak dianugerahi
pandangan khusus yang dimiliki orang-orang spesial, akan tetapi semangat yang
kuat memotivasi mereka untuk menutup diri, seperti yang dikatakan oleh
al-Mutanabbi:
Perempuan-perempuan itu mengenakan sutra
yang dibordir bukan untuk mempercantik diri,
Melainkan untuk menjaga kecantikan mereka
dari mata-mata yang penuh gairah.
PASAL 3
MATILAH KALIAN SEBELUM KALIAN MATI
Amir Barwanah berkata: “Sungguh hati dan jiwaku ini sangat ingin
melayani Allah siang dan malam, akan tetapi karena kesibukanku dengan
urusan-urusan Mongol, aku jadi tidak bisa mewujudkan keinginan untuk bersua
dengan-Nya.
”Maulana Rumi menjawab: “Sesungguhnya yang kamu lakukan ini juga
merupakan bentuk khidmat (melayani) Allah, karena yang kamu lakukan itu menjadi
media untuk memberikan rasa aman dan perlindungan bagi para Muslim. Kamu telah
mengorbankan jiwa, harta, dan ragamu untuk membuat mereka semua memperoleh ketenangan
dalam melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah.
Tentu saja hal ini juga merupakan amal yang baik. Allah telah menganugerahimu
kecenderungan kepada amal yang baik ini. Rasa cintamu yang besar pada apa yang
kamu lakukan ini merupakan bukti.
Seseorang bertanya: “Apakah ada cara lain yang lebih dekat kepada
Allah daripada salat?Maulana Rumi menjawab: “Ada, yaitu salat juga”.
Tetapi bukan salat dalam bentuk luarnya saja.”Salat yang kamu sebut
dalam pertanyaanmu tadi adalah bentuk dari salat itu sendiri, karena ia
memiliki pembuka dan penutup.
Sementara semua hal yang
memiliki pembuka dan penutup dinamakan bentuk, takbiratul ihram adalah pembuka
salat, dan salam adalah penutupnya. Sama halnya dengan syahadat.
Syahadat bukan merupakan sesuatu yang dilafalkan dengan bibir saja,
tetapi syahadat juga memiliki permulaan dan akhiran.
Segala sesuatu yang diekspresikan dengan kata, suara, dan memiliki
awalan serta akhiran adalah bentuk dan kerangka.
Sementara jiwa dari syahadat itu tidaklah terbatas dan tidak
memiliki titik akhir, tak bermula dan tak berakhir.Masih ada sesuatu yang lain,
yaitu salat yang ditunjukkan para Nabi.
Nabi Muhammad Saw. menjelaskan perihal salat ini kepada kita semua
melalui sabdanya: “Aku memiliki sebuah waktu bersama Allah yang tidak dapat
dideteksi oleh nabi-nabi lain maupun para malaikat yang dekat dengan Allah.”
Dari sini, bisa kita pahami bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah jiwa
(roh)nya salat.
Bukan semata bentuk luarnya
saja, melainkan kekhusyukan yang sempurna. Sebuah kondisi di mana bentuk apa
pun tidak dapat masuk ke dalamnya, tidak ada tempat bagi mereka di sana, bahkan
Jibril yang merupakan wujud suci, sekalipun tak dapat masuk ke dalamnya.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari para sahabat ayahku melihat ayahku
(Bahauddin, semoga Allah menyucikan jiwa beliau) sedang berada dalam
kekhusyukan yang sempurna. Kebetulan saat itu telah masuk waktu salat, sehingga
beberapa murid memanggil ayahku: “Waktu salat telah tiba.”
Ayahku tidak menghiraukan suara yang memanggil, sehingga mereka
membiarkannya dan menunaikan salat tanpa ayahku.
Akan tetapi, ada dua murid yang mengikuti apa yang dilakukan ayahku
dan tidak ikut menunaikan salat adalah Khwajagi, salah satu murid yang
melaksanakan salat, ditunjukkan ke dalam mata hatinya sehingga ia bisa melihat dengan
jelas bahwa punggung semua orang yang salat berjemaah di belakang imam
menghadap Ka’bah (salat dengan membelakangi Ka’bah), sementara ayahku dan dua
murid yang mengikutinya justru menghadap Ka’bah. Hal itu dikarenakan ayahku
telah menghilangkan kekitaan serta keakuannya dan menjadi fana’.
Wujud mereka bertiga telah ‘mati’ dan telah meneguk cahaya Tuhan;
“Matilah kalian sebelum kalian mati,” mereka telah menyatu dengan cahaya Allah.
Semua orang yang memalingkan wajahnya dari cahaya Allah dan menghadapkan
wajahnya ke tembok, maka mereka menghadapkan punggungnya kepada kiblat, karena
cahaya Allah adalah kiblat yang sebenarnya.
Cahaya Allah adalah roh dari kiblatSiapa saja yang menghadap
Ka’bah, ketahuilah bahwa nabi Muhammad telah menjadikan Ka’bah sebagai kiblat
dunia.
Jika Ka’bah adalah kiblat dunia, maka yang lebih utama adalah
ketika Ka’bah menjadi kiblat bagi seseorang
.Nabi Muhammad Saw. pernah menegur seorang sahabat dan berkata:
“Aku memanggilmu, mengapa kamu tak datang?” Sahabat itu menjawab: “Aku sedang
khusyuk salat.” Nabi bertanya lagi: “Kamu betul, tetapi bukankah aku
memanggilmu untuk salat?” Sahabat itu menjawab: “Aku pasrah.”
PASAL 4
KAMI MULIAKAN ANAK KETURUNAN ADAM
Salah satu dari mereka berkata: “Ada sesuatu yang aku lupakan.”
Maulana Rumi menjawab: “Ada satu hal di alam semesta ini yang tak patut untuk
dilupakan. Kalau kamu melupakan segala hal tapi tetap mengingat satu hal itu,
maka kamu tak perlu khawatir.
Sebaliknya, kalau kamu bisa meraih dan mengingat segalanya tapi
kamu lupa akan satu hal itu, maka seolah-olah kamu tak pernah berbuat apa-apa.
Hal ini diibaratkan seperti seorang raja yang mengirimmu ke sebuah desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Kalau kamu pergi ke desa itu tapi kamu malah melakukan hal yang
lain dan tak kunjung mengerjakan apa yang diperintahkan, maka seolah-olah kamu
sama sekali tak pernah melakukan apa-apa.”
Demikianlah, manusia datang ke alam semesta ini untuk melaksanakan
tugas tertentu, dan itulah tujuan mereka. Kalau dia tidak mengerjakan tugas
yang menjadi alasan kenapa ia datang, maka seolah-olah ia tak pernah
mengerjakan apa-apa
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat
itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh. (Al-ahzab:72)
Amanah itu Kami
tawarkan kepada langit, tapi ia merasa tak sanggup untuk memikulnya. Coba
perhatikan berapa banyak akibat yang akan timbul dari amanah itu sehingga bisa
membuat manusia kebingungan.
Amanah itu bisa
mengubah bebatuan menjadi akik dan nilam, menyulap pegunungan menjadi tambang-tambang
emas dan perak, dan menyegarkan tanaman di bumi serta menghidupkannya kembali
sebagai sebuah pemandangan yang sangat indah layaknya surga ‘Adn. Juga tanah
yang menerima bibit-bibit kemudian menghasilkan buah-buahan.
Bumi yang menerima dan menampakkan ratusan
ribu keajaiban yang sulit dijelaskan. Kemudian giliran pegunungan yang
membuahkan logam-logam yang melimpah ruah. Semua itu adalah produksi dari
langit, bumi, dan gunung. Akan tetapi semua itu tidak dilakukan sendiri oleh mereka,
melainkan melalui perantaraan manusia
ÙˆَÙ„َÙ‚َدْ ÙƒَرَّÙ…ْÙ†َا بَÙ†ِÙŠْٓ اٰدَÙ…َ
”Dan
Sesungguhya telah kami muliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra : 70)
Allah tidak berfirman:
“Sungguh telah Kami muliakan langit dan bumi.” Begitulah, semua hal yang tidak
bisa dilakukan seorang diri oleh langit, bumi, dan gunung, bisa ditangani oleh
manusia.
Kalau manusia sudah
melakukan hal tersebut, maka hilanglah predikat zalim dan bodoh dari dirinya.
Kamu bisa saja berkata: “Jika aku tidak melakukan hal itu, masih banyak hal
lain yang bisa aku lakukan,” padahal manusia tidak diciptakan untuk melakukan
hal-hal selain itu.
Misalnya kamu
membawa sebilah pedang baja dari India yang tak ternilai harganya seperti yang
ada di lemari para raja, lalu kamu memakainya untuk mencincang daging busuk
sembari berkata: “Aku tidak akan membiarkan pedang ini tak berfungsi, aku akan
menggunakan untuk berbagai hal.
Bisa saja kamu menunjukkan
justifi kasimu dengan berkata: “Tapi aku mengabdikan seluruh kemampuanku untuk
melaksanakan perkara-perkara yang luhur dan mulia. Aku belajar ilmu hukum (fiqih),
filsafat, logika, astronomi, kedokteran, dan lain-lain.”
Tapi kamu melakukan semua itu untuk dirimu
sendiri. Kamu belajar hukum agar tak seorang pun bisa mencuri roti dari
tanganmu, atau menelanjangimu, atau bahkan membunuhmu.
Ringkasnya: kamu
melakukannya agar kamu merasa aman. Kamu belajar astronomi dan seluk-beluk
bintang dan pengaruhnya terhadap bumi, baik ringan maupun berat, yang menandakan
keamanan atau bahaya, semua ini berkaitan dengan keadaanmu dan untuk melayani
tujuanmu sendiri.
Entah ramalan bintang
sedang baik atau buruk, selalu bertalian dengan nasibmu, dan seterusnya semua
karena demi dirimu sendiri. Ketika kalian renungkan hal ini baik-baik, akan
kalian dapati bahwa asal segala sesuatu adalah diri kalian sendiri, dan segala
sesuatu yang lain tadi adalah cabang dari diri kalian.
Jika cabang itu memiliki banyak perincian,
keajaiban, dan bentuk-bentuk luar biasa yang tak berujung, maka renungkanlah
apa yang kalian miliki karena kalian adalah asal dari segala sesuatu itu.
Ketika cabang-cabang
itu mengalami ketimpangan, kemerosotan, kebahagiaan, dan ketidakberuntungan,
renungkanlah dirimu yang menjadi asal dari semua itu; apa saja yang membuat dunia
spiritual (roh) kalian mengalami semua hal itu.
Roh seseorang memiliki karakteristik seperti
itu, dan akan melahirkan hal-hal seperti itu juga. Karena memang pada dasarnya
seorang manusia sudah seharusnya seperti ini.
Sama halnya pada
saat Majnun hendak mengunjungi rumah Laila. Ketika Majnun masih sadar, ia
mengemudikan untanya menuju rumah Laila. Tetapi saat ia terbenam dalam
fantasinya tentang Laila dan melupakan diri dan untanya, unta itu menelusuri jalan
kembali ke desa di mana anak unta itu disimpan.
Saat Majnun bangun
dari imajinasinya, ia menemukan dirinya telah mundur dua hari perjalanan.
Selama tiga bulan ia menelusuri jalan ini, justru ia semakin jauh dengan
tujuannya. Akhirnya ia berkata “Unta ini bencana buatku!,” ia lalu turun dari
unta itu dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Untaku ingin kembali,
sementara aku ingin terus maju.
Sungguh aku dan ia
sangatlah berbeda.
Aku adalah seekor
burung. Aku adalah seekor bulbul. Aku adalah seekor beo. Kalau mereka berkata
padaku: “Tunjukkan jenis suara yang lain selain suaramu,” niscaya aku tidak
akan bisa melakukannya. Jika lidahku memang sudah demikian, maka aku tak bisa
berbicara dengan suara lain.
Hal ini berbeda dengan mereka yang bukan
burung yang bisa mempelajari suara-suara burung, bahkan mereka adalah
musuh-musuh burung dan pemburu burung itu. Mereka bernyanyi dan bersiul dengan
nada lain untuk mengelabui burung agar dirinya dianggap sebagai burung.
Kalau mereka disuruh
untuk mengeluarkan suara yang lain, mereka akan melakukannya karena suara itu
hanya dibuat oleh mereka, meski sesungguhnya suara itu bukan milik mereka.
Seperti para cendekiawan, mereka bisa membunyikan suara yang lain karena mereka telah belajar untuk mencuri suara-suara itu, dan untuk memamerkan nada itu di setiap rumah.
to be continued next time
Komentar
Posting Komentar